Home » » Hadis Ekonomi 2

Hadis Ekonomi 2

Written By Wisnu Arif Fahreza LA'Vista on Jumat, 31 Mei 2013 | 19.25







Nama       :  Wisnu Arif Fahreza
Npm        :  1174464
Prodi        :  Ekonomi Islam
Kelas        :  C
Mata Kuliah    :  Hadis Ekonomi



BAB I
Hadis Tentang Riba

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم(رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)

Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.
Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.
Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang  normal.

عن ابي سعيد الخدرى رضى الله عنه ان رسول الله ص.م قال لاتبعوا الذهب الا مثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبعوا الورق با لورق الا مثلا بمثل, ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناخر (متفق عليه)

Dari abi Said al-khudari r.a ( katanya): sesungguhnya Rasulullah bersabda :Jangnanlah kamu menjual dengan emas kecuali yang sama nilainya, dan janganlah kamu menjual uang dengan uang kecuali yang sama nilainnya, dan jangganlah  kamu menambah  sebagian atas sebagiannya, dan jannganlah kammu menjual yang tidak kelihatan diantara dengan yang nampak. (muttafaq Alaihih).
Hadits tersebut menjadi dalil yang menunjukan pengharaman jual emas dengan emas, dan perak dengan perak yang lebih kurang (yang tidak sama nilainya) baik yang satu ada di tempat jual beli dan yang lain tidak ada ditempat penjualan berdasarkann sabdanya “kecuali sama nilaiya”. Sesungguhnya dikecualikan dari itu dalam hal-hal yang paling umum, seakan-akan beliau bersabda: janganlah kamu jual- belikan emas dan perak itu dalam keadaan yang bagaimanapu, kecuali dalam keadaan yang sama nilainya ataupun harganya emas dan perak itu sendiri.

BAB II
Hadis Pemanfaatan Barang Gadai
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : اَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اشْتَرى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ اِلى اَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخا رى والمسلم)
Artinya:
“Dan dari Aisyah r.a., bahwa sesungguhnya Nabi saw. pernah membeli makanan dari seorang yahudi secara bertempo, sedang Nabi saw. menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahudi itu.” (HR Bukhori dan Muslim).
Dalam hadis ini dijelaskan bahwa bolehnya membeli dengan harga bertempo, dan bolehnya muamalah dengan orang kafir dalam hal-hal yang tidak haram.
Dan dalam ijma’nya, para Ulama’ membolehkan tentang adanya perjanjian gadai. Hanya mereka sedikit berbeda pendapat tentang: “Apakah gadai hanya dibolehkan dalam keadaan bepergian saja, ataukah bisa dilakukan dimana dan kapan saja?” jumhur (kebanyakan Ulama’) membolehkan gadai pada waktu bepergian dan juga berada di tempat domisilinya, berdasarkan praktek Nabi sendiri yang melakukan gadai pada waktu Nabi berada di Madinah; sedangkan ayat yang mengkaitkan gadai dengan beperian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai, melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu bepergian (pada waktu itu).
Berikut adalah pendapat beberapa Ulama tentang pemanfaatan barang gadai, yaitu:
1.    Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berkata: Dari Ibnu Al Musayyib, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda,
لَايَغْلُقُ الرَّهْنُ الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Artinya:
“Transaksi gadai tidak menghilangkan harta gadai dari pemiliknya yang menggadaikannya. Untuknya keuntungannya dan baginya tanggungan kerugiaannya.”
 Mengenai pemanfaatan barang gadaian, Imam Syafi’i juga mengatakan dalam kitabnya, yaitu al-Umm bahwa: ”Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima barang gadai.”
Dalam kitab Madzahibul arbaah  dijelaskan, bahwa Ulama’-ulama’ Syafi’iyah mengatakan: “Orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai. Kekuasaan atas barang yang digadaikan tidak hilang kecuali mengambil manfaat atas barang gadaian itu.”
Seterusnya dalam kitab al-umm Imam Syafi’i mencantumkan hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : لَاتُحْلَبُ مَاشِيَةُ امْرِئٍ بِغَيْرِ اِذْنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari ibnu umar ia berkata, bersabda Rasulullah SAW. hewan seseorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.” (HR Bukhori)
Barang yang digadaikan itu tidak lain hanyalah sebagai jaminan atau kepercayaan saja di penerima gadai. Barang jaminan diserahkan kepada penerima gadai bukan berarti menyerahkan hak milik, tetapi pemilik barang gadaian itu adalah orang yang menggadaikan. Oleh karena yang memiliki barang itu adalah orang yang menggadaikan, maka dengan sendirinya manfaat atau hasil dari barang gadaian itupun adalah kepunyaan yang menggadaikan.
Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat barang gadaian itu baginya yang disebutkan dalam waktu akad, maka akad tersebut rusak (tidak sah). Dalam setiap keadaan barang yang digadaikan, apabila disyaratkannya dalam waktu akad. Apabila yang menggadaikan mengambil manfaat dari barang gadaian sebelum akad maka hal itu diperbolehkan.
Pengertian yang dapat diambil dari Imam Syafi’i tersebut diatas ialah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak adalah hak bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan. Alasan bagi pendapatnya itu disamping nash-nash Hadis tersebut diatas ialah karena menggadaikan itu bukan menyerahkan hak milik, tetapi hanya sebagai jaminan saja. Maka jika yang memiliki barang jaminan itu orang yang menggadaikan otomatis dia lah yang bertanggung jawab atas resiko dan di pulalah yang berhak atas manfaat yang dihasilkan dari barang tersebut.
1.    Pendapat Imam Maliki
Imam Maliki dalam hal ini berpendapat sama dengan Imam Syafi’i, yaitu manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan dan bukan bagi penerima gadai. Akan tetapi walaupun demikian Imam Maliki berpendapat bahwa penerima gadai bisa mengambil manfaat dengan syarat:
1)   Utang terjadi disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan. Hal ini dapat terjadi seperti seseorang menjual suatu barang kepada orang lain dengan harga yang ditangguhkan (tidak dibayar kontan), kemudian dia meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka ini dibolehkan.
2)   Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
3)   Jangka waktu mengambil manfaat yang disyaratkan itu waktunya harus ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak syah.
Jika syarat tersebut telah jelas ada, maka sah bagi penerima gadai mengambil manfaat dari barang yang digadaikan. Adapun bila dengan sebab mengutangkan, maka tidak sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dengan cara apapun, baik pengambilan manfaat itu disyaratkan oleh penerima gadai ataupun tidak, dibolehkan oleh orang yang menggadaikan atau tidak, ditentukan waktunya atau tidak. Ketidakbolehan itu termasuk kepada mengutangkan yang mengambil manfaat, sedangkan hal itu termasuk riba.
1.    Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad berpendapat bahwa penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari barang yang digadaikan kecuali hanya pada hewan yang dapat ditunggangi dan diperah susunya dan sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya. Pendapat Imam Ahmad tersebut di atas didasarkan pada Hadis Rasulullah SAW.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًاوَلَبَنُ الدَّرِيُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ اِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَعَلىَ الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ (رواه البخا ري)
Artinya:
“Dari abi hurairah r.a. dia berkata, bersabda rasulullah saw. gadaian dikendarai oleh sebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susu diminum, dengan nafkahnya apabila digadaikan dan atas orang yang mengendarai dan meminum susunya wajib nafkahnya” (HR Bukhori).
1.    Pendapat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa manfaat barang gadaian adalah hak penerima gadai.
Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.
عَنْ اَبِىْ صَا لِح عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرَّهْنُ مَرْكُوْبٌ وَمَحْلُوْبٌ وَعَلىَ الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ (رواه البخا ري)
Artinya:
“Dari Abi Shalih dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi SAW. bersabda: barang jaminan utang bisa ditunggangi dan diperah dan atas menunggangi dan memerah susunya wajib nafkah”. (HR Bukhori).
Nafkah bagi barang yang digadaikan itu adalah kewajiban yang menerima gadai, karena barang tersebut ada ditangan dan kekuasaan penerima gadai. Oleh karena yang memberi nafkah adalah penerima gadai, maka para Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut adalah pihak penerima gadai.
BAB III
Hadis Penawaran dalam Jual Beli
حدّثنا قتيبة . حدّثنا الليث عن نا فع عن ابن عمر عن النبىّ ص. م. قال : لا بيع بعضكم على بيع بعض. ولا يخطب احدكم على خطبت بعض. قال : وفى الباب عن ابى هريرة وسمرة. حديث ابن عمر حديث حسن صحيح.
Qutaibiah menceritakan kepada kami, Laits menceritakan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi saw. bersabda : Janganlah sebagian dari kamu membeli barang yang akan dibeli oleh sebahagian (temanmu) dan janganlah kalian semua berkhitbah atas khitbahnya sebagian (temanmu).
Rawi berkata : di dalam bab ini, Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Samurah Hadisnya Ibnu Umar adalah Hadis Hasan Sahih
وروى عن النبي ص م انّه قال : لا يسوم الرجل على سوم اخيه. ومعنى البيع في هذا الحديث عن النبىّ ص م . عند بعض اهل العلم. هو السوم.
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda “Janganlah seorang lelaki menawar barang yang sudah ditawar temannya. Arti Al-Ba’i di dalam hadis ini dari Nabi saw. menurut ulama yaitu menawar.
Dengan dasar itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi tersebut terjadi sebelum terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya.
Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “kecuali bila penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”
Selain jual beli, yang diharamkan dengan bentuk transaksi tersebut juga sewa menyewa, pinjam meminjam, peminjaman modal, musaqat, muzara'ah dan lain sebagainya. Kesemuanya tidak sah dilakukan bila telah didahului transaksi lain, diqiyaskan dengan jual beli, karena semuanya mengandung unsure menyakiti terhadap pihak lain.
Hadis Jual Beli Najasy
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ النَّجْشِ. وَ فِيْ لَفْظٍ وَ لاَ تَنَاجَشُوْا. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Dari Ibnu ‘Umar r.a.: Bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli dengan cara najasy”. Dan dalam lafazh yang lain dinyatakan: Janganlah kamu sekalian melakukan jual-beli dengan cara najasy. (HR al-Bukhari).
Rasulullah s.a.w. — pada prinsipnya – melarang bai’ an-najasy. An-Najasy yang dimaksud dalam hadis ini ialah bentuk praktik julal-beli sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, dan oleh karenanya disebut sebagai praktik jual-beli yang terlarang.
Penjelasan dan Istinbath Hukum
1.    Haram hukumnya praktik najasy dalam jual beli. Dalam hal ini at-Tirmidzi berkata dalam Sunannya (III/597), “Hadis inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu, mereka memakruhkan praktik najasy dalam jual beli.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bâri (XII/336), “Makruh yang dimaksud adalah makruh tahrim (mendekati haram).”
1.    Bentuk praktik najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi [III/597-598]).
Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah [VTII/120-121], “Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya dengan harga yang lebih tinggi.
At-Tanâjusy adalah seseorang melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak, sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah akhlak orang Islam.”
1.    Orang yang melakukan praktik najasy dianggap sebagai orang yang berdosa dan durhaka. Ibnu Baththal telah menukil ijma’ ahli ilmu dalam masalah ini. (lihat Fathul Bâri (IV/355). Dalilnya adalah hadis ‘Abdullah bin Abi Aufa r.a, ia berkata, “Seorang menjajakan barang dagangannya sambil bersumpah dengan nama Allah bahwa ia menjualnya di bawah modal yang telah ia keluarkan. Lalu turunlah ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…’ (QS Ali ‘Imran, 3: 77)”
‘Abdullah bin Abi Aufa berkata, “Pelaku praktik najasy adalah pemakan riba dan pengkhianat,” (HR al-Bukhari [2675]).
Jika si penjual bekerja sama dengan pelaku najasy dan memberikan kepadanya persen bila barang laku terjual dengan harga tinggi, maka ia juga turut mendapatkan bagian dalam dosa, penipuan, dan pengkhianatan. Keduanya berada dalam Neraka.
1.    Apabila praktik najasy ini dilakukan atas kerja sama antara oknum pelaku dengan penjual atau atas rekayasa si penjual, maka jual beli tersebut tidak halal.
Al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah (VIII/121), “Para ulama sepakat bahwa bila seorang mengakui praktik najasy yang dilakukannya lalu si pembeli jadi membelinya, maka jual beli dianggap sah, tidak ada hak khiyar bagi si pembeli, jika oknum pelaku najasy tadi melakukan aksinya tanpa perintah dari si penjual. Namun, bila ia melakukannya atas perintah dari si penjual, maka sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa si pembeli memiliki hak khiyar.”

Bab IV
Hadis Kepastian Harga
Jual Beli Dua Harga
ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺒﻴﻮﻉ ﺍﻟﻤﻨﻬﻲ ﻋﻨﻬﺎ
bab jual beli yang dilarang. macamnya banyak .salah satunya adalah :
ﻭﻣﻨﻬﺎ : ﺑﻴﻌﺘﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﺔ ، ﻭﻓﻴﻪ ﺗﺄﻭﻳﻼﻥ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻓﻲ " ﺍﻟﻤﺨﺘﺼﺮ
diantaranya adalah jual beli dengan dua harga dalam satu akad (ﺑﻴﻌﺘﺎﻥ ﻓﻲ ﺑﻴﻌﺔ ، ) , menurut yang disebut dalam kitab Mukhtashor kalimat ini mempunyai dua pengertian (ta'wil) :
ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺑﻌﺘﻚ ﻫﺬﺍ ﺑﺄﻟﻒ ، ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺗﺒﻴﻌﻨﻲ ﺩﺍﺭﻙ ﺑﻜﺬﺍ ، ﺃﻭ ﺕﺷﺘﺮﻱ ﻣﻨﻲ ﺩﺍﺭﻱ ﺑﻜﺬﺍ ، ﻭﻫﻮ ﺑﺎﻃﻞ
pertama :
bila ada penjual berkata : "aku jual barang ini dengan harga 1000 dengan syarat kamu menjual rumahmu kepadaku dengan harga sekian"
atau bila ada penjual berkata : "aku jual barang ini dengan harga 1000 dengan syarat kamu beli rumahku dengan harga sekian" Akad ini batal / tidak sah.
ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ : ﺑﻌﺘﻜﻪ ﺑﺄﻟﻒ ﻧﻘﺪﺍ ، ﺃﻭ ﺑﺄﻟﻔﻴﻦ ﻧﺴﻴﺌﺔ ، ﻓﺨﺬﻩ ﺑﺄﻳﻬﻤﺎ ﺵﺋﺖ ﺃﻭ ﺷﺌﺖ ﺃﻧﺎ ، ﻭﻫﻮ ﺑﺎﻃﻞ .
kedua :
bila ada penjual berkata : "aku jual barang ini dengan harga 1000 jika cash, dan 2000 jika kredit, silakan dipilih dengan harga yang mana" Akad ini juga batal / tidak sah
ﺃﻣﺎ ﻟﻮ ﻗﺎﻝ : ﺑﻌﺘﻚ ﺑﺄﻟﻒ ﻧﻘﺪﺍ ، ﻭﺑﺄﻟﻔﻴﻦ ﻧﺴﻴﺌﺔ ، ﺃﻭ ﻗﺎﻝ : ﺑﻌﺘﻚ ﻧﺼﻔﻪ ﺑﺄﻟﻒ ، ﻭﻧﺺﻓﻪ ﺑﺄﻟﻔﻴﻦ ، ﻓﻴﺼﺢ ﺍﻟﻌﻘﺪ
adapun bila ada penjual berkata : "aku jual barang ini kepadamu dengan harga 1000 cash, dan 2000 kredit" atau "aku jual barang ini kepadamu separo dengan harga 1000, dan yang separo lagi 2000" , maka sah hukumnya.
.

ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ : ﺑﻌﺘﻚ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺑﺄﻟﻒ ، ﻧﺼﻔﻪ ﺑﺴﺘﻤﺎﺋﺔ ، ﻟﻢ ﻳﺼﺢ ؛ ﻷﻥ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﻛﻼﻣﻪ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺗﻮﺯﻳﻊ ﺍﻟﺜﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺜﻤﻦ ﺑﺎﻟﺴﻮﻳﺔ ، ﻭﺁﺧﺮﻩ ﻳﻨﺎﻗﻀﻪ

bila ada penjual berkata : "aku jual budak ini kepadamu dengan harga 1000, separonya 700" ,
akad ini tidak sah karena pada awalnya penjual terkesan membagi harga barang dengan sama tapi ternyata tidak .
ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ hal 399 ﺍﻟﻤﻜﺘﺐ ﺍﻹﺳﻼﻣﻲ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻨﺸﺮ1412 :ﻫـ 1991 /ﻡ.
Hadis Khiyar
وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صعلم قال : البائع والمبتا ع بالخيار مالم يفترقا، إلا أن تكون صفقة خيار، ولايحل له أن يفارقه خشية أن يستقيله. رواه الخمسة – إلا ابن ماجه – والدارقطعي وابن خزيمة وابن الجارود. وفي رواية : حتى يتفرقا من مكا نهما.
Artinya :
”Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” (H.R Al-Khamsah kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud. Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.”
Penjelasan :
“Dari Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA bahwa Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan.” Riwayat Al-Khamsah kecuali ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Al-Jarud. Dalam suatu riwayat, “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.” (Dan hadis Abu Dawud dari Ibnu Amr dengan lafadz: “Kedua pelaku jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual beli dibatalkan,” Mereka mengatakan: sabda beliau: “takut jual beli dibatalkan” menunjukkan sah terjadinya jual beli.
Sanggahan tersebut dijawab, bahwa hadis ini menunjukkan adanya khiyar majlis. Juga karena sabdanya: “mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah”. Adapun sabdanya, ‘An-Yastaqillahu’ (membatalkannya) maksudnya membatalkan jual beli, karena kalau maksud sebenarnya adalah membebaskan niscaya makna berpisah tidak mempunyai arti sehingga perlu diartikan membatalkan. Itulah yang diartikan oleh At-Tirmidzi dan ulama lainnya dengan mengatakan, tidak boleh meninggalkannya setelah jual beli khawatir memilih untuk membatalkannya. Adapun maksud Istiqalah disini berupa pembatalan jual beli orang yang menyesal. Dan mereka mengartikan makna tidak halal dengan suatu kebencian, karena tidak sesuai dengan akhlak baik dan perilaku seorang muslim dalam bersosialisasi bukan karena khawatir memilih yang dibatalkan diharamkan. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Umar bila berjual beli dengan seseorang dan ingin menyempurnakan jual beli, beliau berjalan sebentar kemdian kembali lagi. Hal itu diartikan bahwa Ibnu Umar belum menerima hadis larangan ini.
Ibnu Hazm berkata, “Hadis Ibnu Amr diartikan berpisah pembicaraan, sehingga faedah hadis tersebut hilang bersamanya karena hal tersebut mengharuskan kehalalan memisahkan diri, baik dikhawatirkan membatalkannya atau tidak. Karena Iqalah dibolehkan sebelum berpisah atau tidak.” Ibnu Abdil Bar mengatakan bahwa kalangan Malikiyah dan Hanafiyah banyak membicarakan dengan menolak hadis dengan panjang lebar. Bila kata ‘tempat keduanya’ maka takwil tidak lagi mempunyai posisi dan menjadi batal secara zhahir dan batin dengan mengartikan perpisahan secara pembicaraan.

وعن ابن عمر قال: ذكر رجل للنبي صعلم أنه يخدع في البيوع فقال: إذا با يعت فقل: لا خلابة . متفق عليه.
    Artinya:”Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan melakukan tipu daya”.” (Muttafaq Alaih)
    Penjelasan :
”Ibnu Umar Ra berkata, “Ada seseorang (bernama Habban bin Munqidz) mengadu kepada Rasulullah Saw bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah, “Jangan melakukan tipu daya” (yakni penipuan) Muttafaq Alaih. Ishaq menambahkan dalam riwayat Yunus bin Bakir dan Abdil A’la lafazh,
ثم أنت بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فإن رضيت فأمسك وإن سخطت فاردد.
    Artinya:“Kemudian engkau mempunyai hak pilih setiap barang yang engkau beli selama tiga malam, bila engkau rela maka peganglah (ambillah) dan bila engkau benci maka kembalikanlah”.
Orang tersebut masih hidup hingga periode Utsman saat itu berusia 130 tahun. Pada zaman Utsman banyak orang-orang bila membeli sesuatu dikatakan padanya, engkau tertipu dengannya maka kembalilah dan saksikanlah dengan seorang sahabat bahwa Nabi Saw memberikannya hak pilih selama tiga hari sehingga dirham miliknya dikembalikan.

Bab V
Hadis Tindakan Pelaku Ekonomi Yang Berimplikasi Pada Harga

Mencegat Penjual di Jalan

  Hadits

حَدَّثَنَا الصَّلْتُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا

Arttinya : “Menceritakan kepada kami Salt bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abdul wahid mengabarkan kepada kami Muammar Dari Abdullah bin Thawus dari Ayah nya Ibnu abbas RA ia berkata telah bersabda Rasulullah SAW: “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang- menjadi perantara baginya”.(H.R Bukhari kitab al-buyu no 2013)
  Penjelasan
Kita ketahui dalam sejarah, bahwa masyarakat arab banyak mata pencariannya sebagai pedagang. Mereka berdagang dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk mekkah. Mereka datang bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk mendapatkan barang tersebut karena harganya murah. Oleh karena itu banyak tengkulak atau makelar mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa oleh mereka. Para tengkulak tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam. Rasulullah saw bersabda:
“apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya, lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah wajiblah jual beli tersebut”. (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, sedangkan lafaznya milik muslim).
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan penyesalan atau kekecewaan. Islam menyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama mereka masih dalam satu majlis.
Menurut Hadawiyah dan Asy-syafi’I melarang mencegat barang diluar daerah, alasannya adalah karena penipuan kepada kafilah, sebab kafilah belum mengetahui harganya. Malikiyah, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa mencegat para kafilah itu dilarang, sesuai dengan zahir hadits. Hanafiyah dan Al-Auja’i membolehkan mencegat kafilah jika tidak mendatangkan mudarat kepada penduduk, tapi jika mendatangkan mudarat pada penduduk, hukumnya makruh.

Calo Dalam Jual Beli
  Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَأَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ قُتَيْبَةُ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ طَلْحَةَ وَجَابِرٍ وَأَنَسٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَحَكِيمِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ وَعَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزْنِيِّ جَدِّ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَرَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dan Ahmad bin Mani' keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Az Zuhri dari Sa'id bin Al Musayyib dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda. Qutaibah berkata; Sanad ini sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Janganlah orang kota menjualkan barang dagangan orang desa." Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Thalhah, Jabir, Anas, Ibnu Abbas, Hakim bin Abu Yazid dari ayahnya, Amru bin 'Auf Al Muzni kakek Katsir bin Abdullah dan seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.”(H.R  at-tirmidzi kitab al-buyu no 1143)
    حَاضِرٌ لِبَادٍ  yaitu orang pedalaman datang ke kota dengan membawa barang yang akan di jualnya, lalu orang kota berkata kepadanya : “tinggalkanlah barangmu kepadaku, nanti saya dapat menaikkan harga barangmu dan menunggu kenaikan harganya.

Kata ini juga bermakna orang yang mengerti harga barang dilarang melakukan penjualan untuk orang yang tidak mengerti harga barang. Ada kemungkinan pihak yang mengerti memberikan harga yang lebih tinggi dari harga pasar kepada pembeli yang tidak mengerti harga barang tersebut.

  Penjelasan
Dalam praktek jual beli dalam islam, harga merupakan hal yang sangat diperhatikan. Harga menjadi salah satu yang harus didasari kesepakatan antara penjual dan pembeli. Harga tidak hanya menjadi dominasi pembeli atau penjual, oleh sebab itu semua kegiatan yang menyebabkan ada pihak yang merasa ada manipulasi harga maka mendapat perlindungan dari rasul.
Di dalam hadits secara tegas Rasulullah Saw. Melarang permainan harga oleh orang yang mengerti harga dan situasi pasar, untuk mengambil keuntungan dari orang yang tidak mengerti baik ada hubungan keluarga atau tidak, baik pada waktu objek yang diperjualbelikan sangat dibutuhkan atau tidak, baik dibayar secara tunai atau cicilan. Dalam persoalan ini percaloan dilarang oleh islam, karena biasanya dalam praktek percaloan, calo akan mendapatkan keuntungan dari kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli.
Menurut Hanafiyah larangan حَاضِرٌ لِبَاد  itu hanya pada saat harga sangat tinggi dan saat barang tersebut sangat dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan dengan praktek tersebut, pemilik barang akan sangat dirugikan jika harga sudah tinggi dan barang tersebut sangat dibutuhkan, namun barang tersebut belum dilepas oleh calo tersebut.
Sedangkan menurut Hanabilah dan syafi’iyah larangan ini hanya dikhususkan pada kondisi penjual dari pedalaman yang ingin menjual barangnya secara langsung, lalu orang perkotaan menawarkan untuk menjual dengan harga yang lebih tinggi.
Larangan ini lebih khusus ditujukan kepada orang yang mengerti harga dan mengerti pasar untuk melakukan jual beli dengan maksud untuk menipu atau memanipulasi harga, sehingga pemilik barang atau pembeli merasa dirugikan, dan ia mengambil keuntungan dari harga yang sebenarnya.

  Monopoli (Ikhtikar)

  Hadits

خَاطِئٌ عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ

Artinya : “dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan: Bahwa Ma'mar, ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa'," (HR Muslim 1605).
Kata احْتَكَرَ yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok masyarakat untuk dijual kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu kenaikan harga. Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik dan tinggi bagi si Pembeli.
Monopoli atau ihtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.



  Para ulama berbeda pendapat tentang hukum monopoli (ihtikar), dengan perincian sebagai berikut:
1.      Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
                                 مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ                                
                Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605)

Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi 3 kriteria:
•         Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
•         Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
•         Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
2.      Makruh secara mutlak, Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan bagi umatnya.
3.      Haram apabila berupa bahan makanan saja, adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:

مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ فَقِيلَ لِسَعِيدٍ فَإِنَّكَ تَحْتَكِرُ قَالَ سَعِيدٌ إِنَّ مَعْمَرًا الَّذِي كَانَ يُحَدِّثُ هَذَا الْحَدِيثَ كَانَ يَحْتَكِرُ
Artinya : Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya,
"Kenapa engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar” (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja, dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
4.      Haram ihtikar disebagian tempat saja, seperti di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia, sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
5.      Boleh ihtikar secara mutlak, Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti dalam hadits:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ الطَّعَامَ مُجَازَفَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَ أَنْ يَبِيعُوهُ حَتَّى يُؤْوُوهُ إِلَى رِحَالِـهِمْ


Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan (hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).(5)
Para Ahli fiqih (dikutip Drs. Sudirman, M.MA) berpendapat menimbun barang diharamkan dengan syarat:

•         Barang yang ditimbun melebihi kebutuhan atau dapat dijadikan persedian untuk satu tahun
•          Barang yang ditimbun dalam usaha menunggu saat harga naik
•         Menimbun itu dilakuakn saat manusia sangat membutuhkan.


Bab IV

Objek Jual Beli


عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.

Dari Abuz Zubair, “Aku bertanya kepada Jabir mengenai uang hasil penjualan anjing dan kucing.” Jabir
menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras hal tersebut.” (HR. Muslim, no. 4098).

Ibnu Utsaimin mengatakan, “Realitanya, kucing itu bermanfaat, karena kucinglah yang memakan tikus, tokek, dan jangkrik. Sebagian kucing, ada yang berada di dekat seorang yang tidur, dan dada kucing tersebut bersuara dan memiliki gerakan tertentu. Jika ada hewan yang akan mendekati manusia yang sedang tidur tadi maka, dengan sigap, kucing tersebut menangkapnya. Jika dia mau, dia (kucing tersebut) bisa memakannya. Bisa juga, dia tinggalkan. Inilah manfaat kucing. Oleh karena itu, banyak ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Dalam Shahih Muslim, terdapat hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi larangan jual beli kucing.
Karena itulah, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama yang memperbolehkan jual beli kucing. Mereka mengatakan bahwa kucing yang di dalam hadis, (yang terlarang) untuk diperjualbelikan, adalah kucing yang tidak ada manfaatnya karena mayoritas kucing itu menyerang manusia. Akan tetapi, jika kita jumpai kucing peliharaan yang bisa diambil manfaatnya maka pendapat yang mengatakan bolehnya jual beli kucing tersebut adalah pendapat yang kuat karena adanya manfaat dalam objek transaksi.” (Asy-Syarh Al-Mumti’, jilid 8, hlm. 113–114)
Dari kutipan di atas, bisa kita simpulkan bahwa menurut Ibnu Utsaimin, jual beli kucing yang memiliki manfaat—misalnya: bisa menangkap tikus–adalah hal yang diperbolehkan. Sebaliknya, kucing yang, secara realita, tidak memiliki manfaat yang diakui oleh syariat adalah kucing yang terlarang untuk diperjualbelikan. Kucing persia lebih tepat jika dimasukkan ke dalam kategori kedua, daripada yang pertama.
Syekh Abdullah Al-Fauzan mengatakan, “Hadis tersebut adalah dalil atas haramnya uang yang didapatkan dari jual beli kucing. Jika demikian, tentu saja transaksi jual beli kucing adalah haram. Kucing adalah hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali ada kebutuhan tertentu–alias ‘tidaklah bisa diambil manfaatnya setiap saat’– misalnya: untuk memburu tikus atau hewan lain yang semisal dengannya.
Pendapat yang mengatakan bahwa jual beli kucing itu terlarang adalah pendapat yang difatwakan oleh Jabir bin Abdillah dan Abu Hurairah–dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , Thawus dan Mujahid–dari kalangan tabiin–,dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dipilih oleh Abu Bakar Abdul Aziz dan Ibnul Qayyim, serta dinilai sebagai pendapat yang benar oleh Ibnu Rajab.
Sedangkan, mayoritas ulama memperbolehkan jual beli kucing, dan pendapat inilah yang dijadikan sebagai pendapat Mazhab Hambali oleh para ulama Mazhab Hambali. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Al-Kharqi, dalam bukunya Mukhtashar Al-Kharqi. Mereka beralasan bahwa kucing itu memiliki manfaat. Mereka menafsirkan hadis yang berisi larangan jual beli kucing dengan larangan menjual kucing milik orang lain, atau kucing yang tidak memiliki manfaat. Ada juga yang menjelaskan bahwa larangan yang dimaksudkan adalah larangan makruh, bukan haram. Masih ada penafsiran lain yang diberikan oleh mayoritas ulama untuk hadis ini.
Yang benar, adalah pendapat yang mengharamkan jual beli kucing, karena dasar pendapat ini adalah sebuah hadis yang sahih, dan tidak dijumpai hadis lain yang menyelisihinya, sehingga kita semua wajib berpendapat sejalan dengan isi hadis tersebut.
Al-Baihaqi mengatakan, ‘Mengikuti kandungan hadis adalah (sikap) yang lebih baik. Seandainya Imam Syafi’i mendengar hadis yang ada dalam masalah ini, tentu beliau akan berpendapat sejalan dengan isi kandungannya, insya Allah.’
Sedangkan, pendapat yang kedua itu telah memalingkan makna hadis dari makna gamblang yang (dapat) ditangkap. Berpendapat sejalan dengan makna hadis yang umum, itulah yang lebih kuat.” (Minhah Al-‘Allam, jilid 6, hlm. 41)
Simpulannya adalah: hukum jual beli kucing adalah haram dan tidak sah, sehingga uang yang didapatkan dari jual beli tersebut adalah uang yang haram.
عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ قَالَ سَأَلْتُ جَابِرًا عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ قَالَ زَجَرَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ
Dari Abuz Zubair, dia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir mengenai hasil penjualan anjing dan kucing. Jabir menjawab, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras hal tersebut.’” (HR. Muslim,  no. 4098)
Hadis ini adalah dalil tegas yang menunjukkan tentang diharamkannya jual beli anjing, baik anjing tersebut adalah anjing yang telah terlatih untuk berburu binatang ataupun tidak, baik anjing tersebut adalah anjing yang boleh dipelihara atau pun anjing yang terlarang untuk dipelihara.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ – رضى الله عنهما – أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ ، وَهُوَ بِمَكَّةَ  إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di Mekah, saat penaklukan kota Mekah, “Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari, no. 2236 dan Muslim, no. 4132)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya, jika Allah mengharamkan untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pasti juga mengharamkan jual-belinya.” (HR. Ahmad, no. 2730; diriwayatkan dari Ibnu Abbas)
Jika dua hadis ini kita hubungkan maka bisa disimpulkan bahwa yang diharamkan untuk dikonsumsi adalah keseluruhan babi, baik daging, jeroan, otak, dan lain-lain. Sehingga, tidaklah benar anggapan sebagian orang yang mengira bahwa bagian yang diharamkan dari babi hanyalah dagingnya saja tanpa selainnya.
Adapun dari hadis yang dibawakan oleh Ibnu Abbas, bisa kita simpulkan bahwa sesuatu yang Allah haramkan untuk diperjualbelikan pasti juga Allah larang untuk dikonsumsi. Sedangkan yang dilarang untuk diperjualbelikan adalah keseluruhan babi, bukan hanya dagingnya. Dengan landasan itulah sehingga yang terlarang untuk dikonsumsi adalah keseluruhan babi, bukan hanya dagingnya.
Ketika menjelaskan hadis yang dibawakan oleh Jabir di atas, Syekh Abdullah bin Fauzan mengatakan, “Hadis tersebut adalah dalil tentang diharamkannya jual beli babi, jual beli daging babi, lemaknya, kulitnya, dan semua bagian tubuhnya, karena babi adalah najis dan babi itu membawa bahaya yang besar. Ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa babi itu memindahkan dua puluh delapan penyakit ke tubuh manusia yang mengkonsumsinya …. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa daging dan lemak babi itu berdampak jelek kepada kadar rasa cemburu dan semangat untuk menjaga kemaluan bagi orang yang biasa memakannya.
Allah berfirman (yang artinya), ‘Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor.” (QS. Al-An’am:145)
Yang disebut dalam ayat di atas hanya ‘daging babi’–tanpa bagian tubuh yang lain–karena daging adalah maksud pokok orang yang memakannya. Demikianlah umumnya kondisi.” (Munhatul ‘Allam fi Syarh Bulughul Maram, juz 6, hlm. 15, terbitan Dar Ibnul Jauzi, Damam, cetakan kedua, 1430 H).
عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِى جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ اشْتَرَى غُلاَمًا حَجَّامًا فَقَالَ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ ، وَكَسْبِ الْبَغِىِّ ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ
Dari Aun bin Abi Juhaifah dari ayahnya, Abu Juhaifah, bahwasanya beliau membeli seorang budak laki-laki yang memiliki keterampilan membekam. Abu Juhaifah mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pendapatan dari darah, pendapatan dari jual beli anjing, dan penghasilan pelacur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melaknat pemakan riba, nasabah riba, orang yang menato, orang yang minta ditato, dan orang yang membuat patung atau gambar yang terlarang. (HR. Bukhari, no. 5617)
Hadis di atas merupakan salah satu dalil tegas yang menunjukkan haramnya pendapatan yang didapat dari darah. Pendapatan dari darah ini mencakup:
1. Upah yang didapatkan oleh tukang bekam karena membekam.
2. Jual beli darah untuk tujuan konsumsi. Di sebagian warung angkringkan, dijumpai “didih” (darah yang digoreng) yang diperjualbelikan.
3. Jual beli darah manusia. Sebagian tukang becak yang mangkal di sebagian rumah sakit merupakan contoh orang yang menjadikan kegiatan “menjual darah” sebagai profesi mereka. Setiap beberapa bulan sekali, mereka mendonorkan darahnya dengan upah sejumlah uang tertentu. Ini termasuk jual beli darah yang merupakan perkara haram menurut semua ulama, sebagaimana penuturan Ibnu Abdil Bar Al-Maliki. Demikian pula, termasuk jual beli darah adalah sikap sebagian orang yang tidak mau mendonorkan darahnya kepada orang yang membutuhkannya karena keperluan operasi atau lainnya, kecuali dengan upah tertentu.
Jadi, donor darah dengan upah sejumlah uang tertentu adalah suatu hal yang haram. Sedangkan, donor darah secara suka rela tanpa imbalan apa pun adalah amal kebajikan yang berpahala(Argumentasi).
Pertanyaan, “Apakah donor darah itu berpahala? Apakah donor darah itu termasuk dalam firman Allah (yang artinya), ‘Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia, semuanya.’ (QS. Al-Maidah:32)? Berilah kami pencerahan.”
Jawaban Syekh Abdullah Al-Jibrin, “Donor darah itu tidaklah terkenal di masa silam. Oleh karenanya, para dokter masa silam dan orang-orang terdahulu tidak pernah menyebut-nyebut metode pengobatan dengan “memasukkan darah ke saluran darah”. Donor darah hanya dijumpai dalam metode pengobatan modern. Tidaklah diragukan bahwa doroh darah adalah sebuah metode yang memiliki pengaruh dan manfaat serta mempengaruhi kondisi si sakit. Karenanya, donor darah adalah metode pengobatan yang diperbolehkan dan terkenal.
Tidaklah diragukan bahwa orang yang mendonorkan sebagian darahnya yang berlebih, tanpa membahayakan tubuhnya, untuk menyelamatkan orang yang sakit keras dan menjadi sebab hilang atau berkurangnya penyakit, adalah suatu amal yang berpahala jika dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Boleh jadi, donor darah termasuk dalam ayat di atas, dengan syarat terwujudnya kesembuhan atau tidak sangat tergantung dengan donor darah tersebut, jika Allah mengizinkannya.
Banyak ulama terdahulu yang berfatwa melarang pengobatan dengan darah, dengan alasan, darah itu najis sehingga haram dimasukkan ke dalam tubuh, ditambah lagi adanya hadis yang mengatakan bahwa Allah tidaklah meletakkan kesembuhan umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal yang haram.
Akan tetapi, dengan menimbang bahwa manfaat donor darah adalah suatu yang terbukti, terlebih lagi bahwa dokter yang menangani pasien yang membutuhkan tambahan darah tidaklah bersentuhan langsung dengan darah, sehingga para ulama generasi belakangan menganjurkan donor darah. Mereka membolehkan dengan alasan “darurat”, atau dengan alasan bahwa pengobatan dengan donor darah adalah cara pengobatan yang bermanfaat dengan sesuatu yang belum jelas keharamannya(Penalaran).” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fi Al-Masail Ath-Thibbiyyah, juz 2, hlm. 23)
Walhasil, jika kesembuhan seseorang dari penyakit yang mengancam jiwanya itu sangat tergantung dengan adanya tambahan darah maka donor darah termasuk dalam QS. Al-Maidah: 32.
Dalam kondisi tertentu, seorang yang sangat membutuhkan tambahan darah itu tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan membeli kantong darah di PMI (Palang Merah Indonesia), misalnya. Dengan alasan ini, apakah kita boleh membeli kantong darah di PMI?
Jawabannya, “Jika seseorang berada dalam kondisi tidak bisa mendapatkan darah kecuali dengan membelinya, maka membeli darah itu tidaklah mengapa, dengan alasan kondisi darurat. Yang berdosa hanyalah orang yang menjualnya dan memakan hasilnya.” (Tamam Al-Minnah fi Fiqh Al-Kitab wa Shahih As-Sunnah, jilid 3, hlm. 302).

Bab VII
Jenis Jual Beli
Jual Beli Salam
غير واحد من أهل العلم، منهم الشافعي وأحمد وأقرهما الألباني.

"Dari sahabat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam  melarang jual-beli piutang dengan piutang." (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim dan Al Baihaqy dan hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama' diantaranya Imam As Syafi'i, Ahmad, dan disetujui oleh Al Albany)

Walau demikian halnya, banyak ulama' yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama' telah bulat untuk melarang jual-beli piutang dengan piutang.

Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak ada satu haditspun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang-pen), akan tetapi kesepakatan ulama' telah bulat bahwa tidak boleh memperjual-belikan piutang dengan piutang."

Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Munzir.

Ibnul Qayyim berkata: "Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan; karena bila ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh karena itu, akad ini dinamakan dengan as Salam; dikarenakan adanya pembayaran di muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk ke dalam penjualan piutang dengan piutang, bahkan itulah sebanarnya penjualan piutang dengan piutang, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek  untung-untungan."
٢٤٧٠ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَثِيرٍ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ فِي سَنَتَيْنِ وَثَلَاثٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلِّفُوا فِي الثِّمَارِ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ وَقَدْ كَانَ سُفْيَانُ يَذْكُرُهُ زَمَانًا إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ثُمَّ شَكَّكَهُ عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ.
Maksud hadis-hadis tersebut ialah: “diperbolehkan melakukan transaksi jual-beli, baik pembelian buah-buahan atau komoditas lain dengan jalan menyerahkan uang panjar dan kemudian barang yang dibeli itu baru diserahkan pada saat kemudian dalam jangka waktu tertentu, sebagaimana yang disepakati oleh penjual dan pembeli dalam transaksi tersebut”. Sehingga dapat dipahami, bahwa secara hukum melakukan transaksi jual-beli dengan uang panjar (di muka) dengan syarat (batas) waktu  tertentu, dengan kuantitas dan kualitas komoditas yang terukur secara jelas, dapat dibenarkan. Dalam pengertian, hukumnya: “mubah.”

Jual Beli Ijon
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَا (البقراه : 275)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Sejalan dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktek jual beli ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk di panen). Praktek ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Permasalahan ijin ini secara hukum sudah tertera jelas dalilnya, akan tetapi permasalahan ini tetap dibahas oleh para fuqaha mengingat di dalam jual beli ijon sendiri, Ada terdapat banyak permasalahan baik dari perluasan hukum yang sudah ada maupun adanya ijon dalam bentuk lain dari ijon pada zaman Nabi.
Jual beli ijon ini masih sangat kerap kita temui pada masyarakat pedesaan. Praktek seperti ini lebih banyak berlaku pada buah-buahan, untuk biji dan tanaman lain ada, akan tetapi tidak sebanyak pada buah-buahan.
Hadits Nabi yang disampaikan oleh Anas ra :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”.[3] (Muttafaq alaih)
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1. Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.[4]
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.
Menurut hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.
c. Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau
Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabil r.a “adalah di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata “janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.
Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat kita ambil adalah :
1. Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
2. Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
3. Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :
لَوْبِعْتَ مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ ؟ (رواه مسلم)
“Jika engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh engkau ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil harta saudaramu degan tidak benar?”. (HR. Muslim)
4. Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.[9]
Hukum yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku untuk buah atau tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag masanya di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan dengan jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar) tidak ada unsur penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko, sehingga tidak memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama dengan buah yang sudah nampak baiknya.







Bab VIII
Proses Jual Beli
Jual Beli Menipu
Hadits Tirmidzi 1171
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ حَمَّادٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا كَانَ فِي عُقْدَتِهِ ضَعْفٌ وَكَانَ يُبَايِعُ وَأَنَّ أَهْلَهُ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ احْجُرْ عَلَيْهِ فَدَعَاهُ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَهَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَصْبِرُ عَنْ الْبَيْعِ فَقَالَ إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ هَاءَ وَهَاءَ وَلَا خِلَابَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَحَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَقَالُوا الْحَجْرُ عَلَى الرَّجُلِ الْحُرِّ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ إِذَا كَانَ ضَعِيفَ الْعَقْلِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُحْجَرَ عَلَى الْحُرِّ الْبَالِغِ
jika kamu melakuakan jual beli maka katakan; (silahkan) ini & ini, tak ada penipuan, Abu Isa berkata; & serupa dgn hal ini hadits yg diriwayatkan dari Ibnu Umar. Dan hadits Anas adl hadits hasan shahih gharib, & hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama' & mereka berkata; menahan & mengurus seorang yg merdeka itu apabila ia lemah akalnya, ini adl pendapat Ahmad & Ishaq, namun sebagian mereka tak berpendapat boleh untuk menahan serta mengurus seorang yg merdeka & baligh.
Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka (Shahih Muslim No. 2825)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Seorang lelaki melaporkan kepada Rasulullah saw. bahwa ia tertipu dalam jual beli. Maka Rasulullah saw. bersabda: Katakanlah kepada orang yang kamu ajak berjual-beli: Tidak boleh menipu! Sejak itu jika ia bertransaksi jual beli, ia berkata: Tidak boleh menipu!. (Shahih Muslim No.2826)
"Tidak halal seseorang menjual suatu perdagangan, melainkan dia harus menjelaskan ciri perdagangannya itu; dan tidak halal seseorang yang mengetahuinya, melainkan dia harus menjelaskannya." (Riwayat Hakim dan Baihaqi)
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktifitas manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan dan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk, menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik. Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli.
Maka Islam sangat mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang yang hendak dijual harus dijelaskan kekuarangan dan cacatnya. Jika menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman. Padahal, jika kejujuran dalam bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan akan menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
Ingat! dalam hadits di atas Rasulullah Muhammad Saw telah dengan tegas mengatakan, bahwa perdagangan jujur akan mendapatkan keberkahan. Sedangkan, jika dalam bertransaksi dibumbui dengan ketidakjujuran, maka Rasulullah Saw menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak akan berkah. Dalam hadits lain ia menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dari golongan kami (Riwayat Muslim).
Ketidakjujuran dalam bertransaksi saat ini memang sulit ditemui. Banyak kita menjumpai pedagang yang hanya mengatakan barang yang dijualnya adalah barang yang sempurna, paling bagus, yang membuat pembeli tergiur, tetapi tidak dikatakan atau dijelaskan cacatnya barang tersebut. atau promosi (penawaran) yang terjadi saat ini baik di media cetak atau elektronik (TV dan radio) hanya mengatakan keunggulan-keunggulan produk tersebut, tapi tidak pernah mengatakan kekuarangan-kekurangan dari produk tersebut.
Coba kita simak kisah seorang Ibnu Sirin, ia pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga Al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min seperti Ibnu Sirin dan Al-Hassan bin Shaleh merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
Mudah-mudahan hal ini dapat dilaksanakan dikehidupan sehari-hari sehingga transaksi yang dilaksanakan membawa keberkahan dalam kehidupan. Dan tentunya tidak menzholimi pihak lain. Wallaahu ‘alam.
















Share this article :

1 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Mengenai Saya

Foto saya
nama saya wisnu arif fahreza, saya lahir dinatar tanggal 25 agustus 1994 ...

Pengikut

Cari Blog Ini

Entri Populer

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Wisnu Arif Fahreza - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger